'/> '/> Pokok-Pokok Filsafat Bab Ke-X Perihal Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan

Info Populer 2022

Pokok-Pokok Filsafat Bab Ke-X Perihal Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan

Pokok-Pokok Filsafat Bab Ke-X Perihal Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan
Pokok-Pokok Filsafat Bab Ke-X Perihal Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan
Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-X Tentang Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan-
28. Apakah Keheningan Itu?
Pada tiga bab pertama matakuliah ini kita sudah menghadapi banyak sekali teori filsafat, yang diusulkan oleh filsuf-filsuf yang berupaya memecahkan bermacam-macam masalah. Keanekaragaman itu, yang tercampur-aduk oleh banyak sekali pendekatan yang tersedia untuk kita gunakan, ialah salah satu ancaman paling serius terhadap kesehatan pohon filsafat. Jika tidak ada yang sanggup mempersatukan keragaman yang biasanya muncul dari pengalaman insani kita dan dari fatwa kita terhadapnya, maka kita berada dalam ancaman akan bernasib ibarat Nietzsche. ibarat yang yang kita lihat di Kuliah 23, Nietzsche mencabut akar pohon filsafat dalam rangka membangunkan insan modern dari keterlelapan lalok lamak di bawah naungan pohon filsafat Sokrates. Namun ibarat yang tanda pertama kesekaratan dalam tanaman yang akarnya tercabut ialah bahwa daun-daunnya layu, begitu pula Nietzsche yang berupaya berfilsafat tanpa mendasarkan penalarannya di suatu realitas hakiki berakhir tatkala pengalamannya sendiri runtuh dalam kegilaan menggemparkan yang tiada-henti.

 Pada tiga bab pertama matakuliah ini kita sudah menghadapi banyak sekali teori filsafat Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-X Tentang Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-X Tentang Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan

Orang yang pencarian kealimannya berakhir dalam kegilaan itu tidak bersentuhan lagi dengan realitas yang menciptakan pencarian itu berguna. Untungnya, nasib tragis ini bukan tak terelakkan, asalkan kita berguru untuk menanggapi keragaman pikiran dan kehidupan dengan mengganti kegaduhan yang ditimbulkan oleh pilihan-pilihan yang kurang-lebih berlarut-larut yang tersedia di depan kita dengan suatu keheningan (silence) yang sanggup menunjang kesatuan dan tujuan bagi eksistensi kita yang terpenggal. Karena alasan itu, saya akan mengawali bab terakhir dari kuliah kita ini dengan meminta anda untuk menyarankan beberapa balasan terhadap pertanyaan, “Apakah keheningan itu?”

Kala anda pikirkan pertanyaan itu, biarlah saya ingatkan anda bahwa bab dari pohon filsafat yang paling melambangkan kebutuhan kita akan prinsip pemersatuan dalam fatwa kita dan daya pemersatu dalam kehidupan kita ialah daun-daun. Itu karena bila kita pandang pohon yang tak berdaun, perubahan antara cabang-cabangnya tampak jelas; namun jikalau pohon tersebut memiliki daun yang rimbun, maka cabang-cabangnya di aktualnya kelihatan terhubung, seperti daun-daun itu mencairkan ketegangan antarcabang dengan merangkul cabang-cabang itu dalam kesatuan yang lebih tinggi. Daun-daun suatu pohon, lebih dari bagian-bagian lainnya, memberi kita kesan bahwa pohon itu satu unit: khususnya bila kita memandang pohon itu dari jauh, daun-daun tersebut kehilangan ciri khas mereka dan saling mengaburkan. Bahkan, suatu pohon sering lebih sulit dibedakan dari yang lain bila tidak memiliki daun. Untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi pohon, para mahir botani biasanya memanfaatkan daunnya.

Adapun untuk lebih lebgkap mengenai artikel Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-X Tentang Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan silahkan kunjungi linnk dibawah ini : 
Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-X Tentang Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan [DOWNLOAD]
Analogi tersebut menyiratkan salah satu prinsip terpenting yang akan kita bahas di Bagian IV ini; ibarat yang daun memilih ciri khas pohon dan kesatuannya, bab dari pohon filsafat yang kini mulai kita periksa pun hidup berdasarkan prinsip “kesatuan dalam keragaman”. Karena “kesatuan” dan “keragaman” berlawanan, prinsip itu terang mensyaratkan bahwa kita berpikir dengan menggunakan logika sintetik jikalau kita hendak memahaminya. Namun sebelum kita mulai memperhatikan beberapa referensi ihwal bagaimana prinsip-prinsip itu berlaku, adakah yang yang punya inspirasi ihwal bagaimana kita sanggup mendefinisikan keheningan?

Mahasiswa V. “Keheningan mengacu di suatu lingkungan yang tanpa suara—atau setidak-tidaknya sangat lirih.”

Saya memang berharap ada yang menyatakan balasan semacam itu, dikarenakan pernyataan tersebut memberi kita peluang untuk menjernihkan pertanyaan yang bergotong-royong saya ajukan. Jawaban anda benar sekali; namun itu mendefinisikan keheningan dengan cara sepintas lalu. Pada permukaannya, keheningan memang khusus tiadanya suara. Jadi, umpamanya, jikalau beberapa di antara kalian mulai mengobrol saat saya sedang berusaha memberikan kuliah ini, maka saya mungkin berseru “Silence please!”; [seruan] ini berarti sesuatu ibarat “Harap tidak mengeluarkan suara!” Padahal, biasanya kata “keheningan” jauh lebih bermakna daridi itu. [1] Bukankah ada beberapa jenis bunyi yang tidak mengusik keheningan kita? Bagaimana dengan lagu terkenal yang berjudul “Suara Keheningan”? Kalau keheningan ialah tiadanya suara, maka bagaimana keheningan itu sendiri memiliki suara? Adakah yang memiliki saran lain mengenai bagaimana kita sanggup agak lebih mendalami makna keheningan? Apakah keheningan itu?

Pokok-pokok Filsafat Bagian Ke-X Tentang Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan

Advertisement

Iklan Sidebar